SEMUA KISAH SELAMA DI BUMI SMUDAMA

|

SEMUA KISAH SELAMA DI BUMI SMUDAMA
(cerita bersambung)

Miniatur Kehidupan Paling Istimewa, Tak Ada Yang Seindahmu Kecuali Surga-Nya

BAG. I
SECORET PESAN


2008, Juli 
       Tak ada yang begitu istimewa dengan penampilanku pagi ini. Sejak tadi suasana rumah sudah ramai, ku lihat adikku sedang sibuk memilih baju, dan saat itu juga dia mengenakan kaus merah dan dikenakannya jeans biru tua. Selera yang begitu standard bagiku, sedang kakakku sedari tadi sibuk memasang jilbabnya, sebuah jilbab dari kain sutra yang baru saja ibu beli. Terlihat ibu, ayah dan saudara sepupuku yang lain sedang asyik melahap sajian yang telah ibu siapkan sejak dini hari tadi. Suasana yang begitu klasik untuk kondisi saat ini. 
        Dan aku hanya bias tersenyum melihat semuanya, aku terduduk sambil sesekali memeriksa barang-barang yang akan aku bawa. Yah, hari ini aku akan berangkat ke sekolah ku yang baru, sebuah sekolah yang berada di perbukitan Sulawesi selatan. Sebuah sekolah berlabel andalan, sungguh menyenangkan bagiku ketika aku melihat nomor tesku tersenyum manis di atas salah satu koran di kota Makassar. Dan semua yang ada di rumahku saat ini sedang bersiap-siap untuk mengantarku ke sekolah berasrama itu. 
     Sebenarnya aku tak pernah menyangka akan bisa bergabung dengan para generasi andalan Indonesia Timur itu, tapi rencana Tuhan memanglah indah, usahaku mengikuti berbagai bimbingan belajar untuk persiapan masuk SMA itu akhirnya membuahkan hasil manis. Tak bisa ku gambarkan betapa bahagianya hatiku kini.
     Terdengar suara mesin mobil sedang menderu-deru. Sang sopir sedang memanaskan mesin mobilnya, toh hari itu pagi masih diselimuti embun pagi. Sedangkan aku dan ibu sedang sibuk memindahkan barang-barang ke atas mobil. Dari koper-koper hingga tas plastik berisi ember, gayung, rak buku maupun camilan-camilan khas daerah kami bawa. 
           Pagi nanti akan ada pertemuan untuk para orang tua siswa baru di aula, dan kami harus mengikuti itu. Maka kami pun menyegerakan keberangkatan kami. Perjalanan kami kurang lebih 70 km. Dengan penuh semangat mobil kami segera beranjak pelan menuju Jl. Perintis Kemerdekaan.
Aku hanya terduduk diam, sementara yang lain tak habis-habisnya bercerita tentang sekolah baruku itu, apalagi ayah, tak habis-habisnya dia mengumbar cerita tentang aku kepada tante yang duduk di sampingnya. Dan herannya, itu menjadi topik yang sangat menarik bagi tante, ditandai dengan anggukan-anggukan dan komentar yang selalu saja dia lakukan. Aku hanya bisa tersenyum melihat semua itu.
        Sementara itu, adikku yang hanya sesekali ke kota, begitu asyik mengintip di jendela sekedar ingin tahu suasana kota Daeng itu. Kami terus melaju melewati areal pekuburan yang begitu luas, kemudian disambut oleh beberapa toko-toko mebel. Tak heran jika jalan itu diberi nama Jl. Mebel. Aku hanya bisa memasung mulut untuk tetap diam. Yang ada di pikiranku kini adalah ’benarkah pilihanku ini?’, sebuah pilihan untuk meninggalkan kebebasan dan harus menetap di sekolah yang begitu menyilaukan dan belum jelas bagiku.
      Pikiranku terus berkecamuk, tak ada yang bisa menghiburku, hingga sang sopir memutar musik. Serta merta terdengar tembang dari Afghan yang berjudul terima kasih cinta berusaha menghibur hatiku. Dan itu lumayan berhasil, sebuah senyum manis tersungging dari bibirku.
        Tak terasa bibir mungilku melejitkan bait demi bait lagu itu, sepertinya hatiku mulai siap. Perlahan aku mengepalkan tanganku dan berbisik ’Semangat! Pasti Bisa!’. Sebuah mantra yang biasanya paling manjur bagiku. 
         Kami telah meninggalkan kota Makassar dan mulai mendaki bukit-bukit menuju ke puncak tujuan kami. Sesekali mobil kami meliuk-liuk mengikuti alur lintasan alam pegunungan khas sulawesi itu. Mungkin sejam lagi kami akan tiba.

***************************

Pukul 10.15 wita
Terlihat sudah banyak siswa baru yang datang, parkiran sudah mulai sesak dengan barang-barang yang baru saja diturunkan. Kembali lagi, hatiku bergejolak, ku tatap keluargaku satu persatu terutama ibu. Sanggupkah aku menghadapi persaingan berat di depanku? Bersaing dengan orang-orang jenius dari kawasan Indonesia Timur, belum lagi yang aku tahu temanku ada dari Kendari, Denpasar, Papua, hingga Jombang, Jawa Timur. 
Sekali lagi, ku kepalkan tanganku dan membisikkan mantra saktiku. Ku raih koperku, dan menyusul keluargaku yang baru saja berjalan menuju ke kerumunan informasi. Terlihat olehku dua orang siswa sedang sibuk mencocokkan nama dengan kamar yang telah ditentukan untuk setiap siswa baru. 
Aku pun segera menyodorkan kartu namaku, dan dengan segera pula, salah satu siswa tadi memberikanku sebuah kertas bertuliskan ’Pavilium 5’ sambil menyuruh siswa yang lain untuk mengantarkan kami ke tempat yang dimaksud. Sebuah prosedur akomodasi yang klasik menurutku. Tetapi, mereka melakukannya dengan sangat baik, sebuah pembentukan kepribadian yang membuatku terkesima di pandangan pertama.
Tibalah aku di sebuah asrama yang tidak asing bagiku, betapa tidak. Ketika tes di sekolah itu, aku memang telah menginap semalam di situ. Siswa itu tanpa berbasa-basi, segera membukakan pintu kepada kami, dan begitu ramah menjelaskan beberapa hal yang dibutuhkan. Pelajaran kedua bagiku, keramahtamahan. 
Kamar ini akan menampung empat orang siswa. Terlihat ada empat buah meja belajar, dua buah lemari yang masing-masing terdiri dari dua pintu. Dan empat buah tempat tidur khas pondokan. Sebuah kamar yang sangat kondusif bagi seorang pelajar, laskar pendidikan.
Kakak dan ibu, sibuk mengeluarkan pakaian dan mengaturnya dalam lemari, sedang adikku sibuk memasang seprai, dan sarung bantal. Sedangkan ayahku sibuk berbicara dengan salah seorang siswa senior yang ada di depan kamarku. Aku sangat terharu, aku tidak sanggup tinggal jauh dari orang tua, aku mau pulang saja. Tapi, itu takkan terjadi. Aku telah terperangkap dalam sebuah pilihan hidup yang dulunya begitu mantap di hatiku.
Sekarang yang harus ku lakukan adalah menerima semuanya dengan ikhlas dan harus segera beradaptasi dengan tempat itu. Aku berjalan keluar dan mulai melihat sekeliling asrama, asrama yang akan aku jejaki selama tiga tahun ke depan. Sungguh pilihan yang tidak sederhana bagi seorang anak berusia 16 tahun. Aku pun menarik napas dalam-dalam dan membisikkan mantera khas ku.
Tiba-tiba sebuah sentuhan tegas menepuk pundakku, ternyata itu ayah. 
”Berikanlah yang terbaik, anakku!”, ujarnya.
Serta merta air mata mengucur deras di kedua pipiku. Aku segera memeluk ayah, aku tak ingin jauh darinya. Belum lagi usianya telah tua kini. Aku ingin selalu di sampingnya, memberikan semangat di hari-harinya. 
Sebenarnya pilihan ini, semua untuk ayah dan ibu. Aku tak ingin melihat ibu diremehkan oleh orang lain. Aku ingin bersekolah di sekolah yang terkenal ini, aku ingin menjadi dokter agar bisa mengobati penyakit ayah. Itu, itulah motivasi pilihanku ini.
Ayahku melepaskan rangkulanku dan mengajakku segera menuju ke aula, seperti yang telah dijadwalkan, akan ada pertemuan bagi siswa baru angkatan 13. yah, sekolah ini masih tergolong baru, didirikan tahun 1997 dan bisa langsung mengukir namanya di ajang olimpiade fisika internasional. Sebuah prestasi gemilang bagiku.
Ayah duduk di bangku paling depan, berdampingan dengan seorang yang begitu terkenal di sekolah itu, orang itu telah menyekolahkan dua orang anaknya di sekolah itu, dan anak yang pertama telah mendulang sukses dengan dapat berkuliah di Jepang. Sekali lagi ayah merasa risih dengan suasana di ruangan itu. Begitu banyak orang-orang dari goolongan yang terkenal akan keberhasilan pendidikan. Sedangkan ayahku sendiri hanyalah seorang sarjana pendidikan agama yang mungkin saja tidak diperhitungkan oleh orang lain. Aku tetap tenang, dengan sesekali melihat sekelilingku. 
Pertemuan pun dimulai, kepala sekolah telah hadir untuk memimpin. Sambutan pun dimulai, seluruh sejarah lahirnya sekolah diceritakan di pagi yang cerah itu. Diwarnai dengan applause yang meriah karena ada-ada saja yang mengangumkan dari cerita pemimpin lembaga andalan itu.
Sekolah ini merupakan sekolah negeri namun tetap dibawahi oleh sebuah yayasan yang begitu besar. Sehingga akan ada dua nama untuk sekolah ini, nama dari pemerintah dan satu nama dari yayasan. Sebuah hal yang begitu unik.
Acara dilanjutkan dengan sambutan oleh salah seorang perwakilan dari wali siswa baru. Seorang pria paruh baya naik ke podium dan memberikan kesan yang sepenuhnya bernilai positif bagi sekolah itu. Dan tentunya segera disambut oleh tepuk tangan riuh forum. Sebuah kekuatan intelegensia yang menarik.
Sesi tanya jawab pun dimulai, dan dari situ aku tahu pelajaran ketiga yang aku dapatkan, yaitu buku warisan. Begitu indah, ternyata di sekolah ini ada budaya ’buku warisan’ di mana buku dari kakak kelas kami akan diturunkan kepada adiknya. Sungguh sebuah keunikan tersendiri dan begitu menjunjung tinggi persaudaraan.
Aku tersenyum, sepertinya hatiku semakin mantap untuk melanjutkan perjuanganku di sekolah ku yang baru itu. Aku semakin ikhlas, ku lihat ayah semakin akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Itulah ayahku, begitu ramah, dan gampang bergaul di segala suasana.
Pertemuan telah usai, beberapa orang tua telah bersiap-siap untuk pulang. Tak jarang siswa baru meneteskan air mata entah karena sedih, terharu atau bahagia. Mereka akan berpisah dengan orang tuanya masing-masing. Mereka akan menjalani kehidupan dengan segala  tuntutan kemandirian.
Aku sendiri, setelah merapikan semua barang bawaan ku. Aku dan keluarga naik ke mobil kembali untuk pergi mencari tempat untuk menyantap bekal yang kami bawa dari rumah. Kami pun melesat menuju Kota Bunga yang berada di sekitar puncak, bukan main dinginnya suhu hari itu. Untung saja aku tetap melekatkan jaket biru tuaku untuk menghangatkan tubuh mungilku ini.
Kami pun tiba di sebuah tempat disambut oleh hutan pinus, dan taman bermain. Sungguh menakjubkan relief permukaan sulawesi. Kakak segera menggelar tikar di bawah naungan pinus, dan ibu membuka bekal. Kami semua asyik menyantap bekal, ada nasi, ayam, lalapan khas daerah kami, dan masih banyak lagi ditambah dengan beberapa potongan kue. 
Setelah semua bekal telah kami lahap habis, tujuan kami selanjutnya adalah sebuah pasar yang ada di pegunungan itu, sekedar ingin membeli oleh-oleh untuk tetanggaku di kampung. Dan setelah itu, aku pun diantar kembali ke sekolah. Dan itu berarti ini momen terakhirku bersama dengan keluargaku. Aku mencium tangan ayah, ibu dan menyalami semua saudara termasuk sepupuku. 
Tak terasa bulir-bulir air mataku mengucur deras ketika ibuku tak berhenti membekaliku pesan-pesan yang begitu merawankan hatiku. Suasana haru biru mewarnai saat itu, hingga akhirnya tinggal sebuah lambaian tangan dari kejauhan yang memberiku sedikit ketegaran. Air mataku terus mengalir, perlahan aku terduduk di jalan yang tak beraspal itu. Terpuruk dalam kesendirian.


BAG. II
MALAM PERTAMA

MALAM 2008, Juli

Sekarang aku tahu, teman kamarku adalah Syamsul, Zul, dan satu lagi Amin. Wah, seperti yang telah kuprediksikan semuanya dari daerah yang berbeda-beda. Syamsul dari kota yang ada di bawah kaki bukit, Zul sendiri dari kota Makassar, dan satu lagi Amin dari sebuah kabupaten yang berada di pesisir yang langsung bersentuhan dengan laut Sulawesi. Sebuah kolaborasi yang apik dalam sebuah kamar kecil berukuran 2 x 3 meter itu. Cukup luas untuk kami berempat.
Aku merasa belum begitu akrab dengan mereka. Beberapa teman Syamsul yang dulunya dari SMP yang sama silih berganti datang ke kamar kami. Aku merasa terpuruk, belum lagi Zul dan Amin juga punya beberapa teman yang seangkatan dengan kami. Aku hanya bisa terdiam duduk sambil membuka sebuah buku berwarna biru, sebuah buku berisi catatan diri dari teman-temanku di kampung dulu. 
Satu persatu kubuka seranai mozaik nostalgiaku, aku tak ingin melakukan apapun saat ini, aku hanya ingin mengingat teman-temanku. Sekedar ingin mengembalikan semangatku. Sementara itu di belakangku, mereka sibuk bercerita tentang sekolahnya masing-masing. Aku merasa semakin tersudut.
”Aland, kamu kok diam aja, gabung dong sini, kita cerita”, tiba-tiba Zul menegurku.
Aku hanya berbalik senyum dan kembali memasung pandanganku ke benda biru itu. 
”Ayolah, aku kenalin deh ama temenku”, lanjutnya sambil meraih tanganku.
Sepertinya hatiku mulai rawan, aku pun memutuskan untuk bergabung dengan mereka, dan saat itu juga aku mengenal Echa, Uccang, dan Kipli. Satu pelajaran lagi, yaitu malu bergabung, ya nggak punya teman.  Aku merasa telah menemukan duniaku yang baru, aku mulai bisa menyatukan diri dengan mereka. Beberapa hari ke depan akan lebih banyak lagi orang baru yang hadir dalam hidupku. Aku harus bersiap.
******************************
Bunyi gemerincing dan tepuk tangan bertalu-talu, itu artinya ruang saji telah terbuka untuk melayani kami makan. Aku dan teman kamarku yang lain segera mengganti pakaian kami, dan bersiap untuk menuju ke ruang makan atau yang lebih  akrab disebut ruang saji oleh anak-anak PS –Pondok Smudama-.
Seru juga, semua telah diatur jadwalnya, dari bangun pagi sampe bangun kembali semua telah diatur dalam sebuah aturan alam PS. Semua wajib mengikuti ekskul, mulai dari Bengkel Seni di hari senin, Karate di hari selasa, Rabu ada pelatihan Karya Ilmiah Remaja dan rakit-merakit komputer, pramuka dan palang merah remaja di hari kamis, jum’at kita melakukan jum’at bersih bersama, sabtu sendiri ada bengkel olahraga. Itu di sore hari, sedangkan malam hari ada pembinaan untuk persiapan olimpiade sains di malam jum’at dan bimbingan bahasa Inggris di malam minggu. Semuanya telah terjadwal dengan sangat rapi dan selalu menuntut kehadiran seluruh siswa.
Anehnya, aku justru begitu bersemangat dengan semua itu, aku sangat bahagia bisa bersekolah di tempat yang telah melahirkan banyak siswa berprestasi dari kawasan Indonesia Timur itu. Segudang prestasi tetap saja tidak pernah menorehkan kesombongan para laskar pendidikan di PS. Sungguh begitu mengesankan.
**************************
Malam pertama di PS, aku mendapatkan teguran pertama dari majelis keamanan asrama saat makan malam. Betapa tidak, aku memakai celana yang hanya setinggi lutut, dan ternyata itu merupakan sebuah pelanggaran keras di PS. Namun, aku masih diberikan teguran, karena memang saat itu, peraturan PS belum dibacakan kepada siswa baru.
Setelah makan, salah seorang siswa yang ditugasi memimpin doa, mengumumkan kepada kami siswa baru agar berkumpul di perpustakaan. Dalam hatiku aku bertanya-tanya, apa lagi yang akan menyambut kami?. Aku hanya terdiam.
Sehabis shalat isya, kami seluruh angkatan tiga belas, angkatan yang baru saja terlahir harus berkumpul di perpustakaan. Kami bertanya-tanya, kenapa harus berkumpul di perpustakaan? Bukankah perpustakaan tempat membaca maupun meminjam buku?.
Sesampainya di sana, kami langsung menuju ke lantai dua, dan hal pertama yang menyambut kami di ruangan yang begitu luas itu adalah sebuah spanduk bertuliskan ”SELAMAT DATANG CALON SISWA BARU PS 2008/2009”. Kami merasa aneh, bukankah kami telah resmi menjadi siswa? Kenapa tertulis calon siswa di atas sana? Aku langsung duduk di dekat teman-temanku yang lain sambil menunggu perintah selanjutnya.
Tak berapa lama, beberapa orang kakak kelas kami ke depan dan menjawab dua butir pertanyaanku tadi. Yah, ternyata kami memang masih calon siswa baru, kami belum resmi masuk PS, kami belum menjadi keluarga besar PS, karena nantinya, yang tidak lolos dalam masa orientasi siswa –MOS- akan dipindahkan ke sekolah lain dengan paksa.
Sungguh sebuah pernyataan yang membuatku begitu takut, aku takut tidak dapat melewati semua ini, dan kembali dengan sejuta kegagalan yang nantinya akan aku kabarkan pada ibu dan ayah.
Namun, aku berusaha menguatkan batinku, aku tetap tenang dengan senyum getir di bibirku. Sesekali aku menatap wajah teman-teman baruku. Kemudian aku palingkan wajahku ke sudut kanan belakang ruangan itu, terlihat begitu banyak pasang mata siswa-siswi PS yang menyaksikan penyambutan kami ini. Aku merasa begitu istimewa bisa berada di tengah-tengah mereka walaupun pada kenyataannya, aku belum pasti akan menjadi bagian dari PS.
Akhirnya, satu persatu nama kami dipanggil untuk memperkenalkan diri dan mengambil ’nyawa kami’, ya itulah sebutan bagi sebuah kertas yang dikalungkan kepada kami. Sebuah name tag yang akan kami perjuangkan untuk dapat bersekolah di PS. 
Aku tersenyum, ketika sebuah papan nama berwarna merah muda bertuliskan ’TKC’ dikalungkan kepadaku. Aku tak tahu apa-apa mengenai tulisan itu. Namun, tanpa berpikir panjang aku perkenalkan diriku dan tentunya juga menyebutkan ’TKC’ sebagai nama mosku. Dan apa yang terjadi? Semua siswa-siswi PS yang berada di depan dan belakang ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Mereka menertawaiku, namun aku tak menafsirkan tawa mereka, aku anggap saja itu sebuah sambutan yang meriah bagiku.
Setelah memperkenalkan diri, aku duduk sesuai dengan tempat yang telah ditunjuk oleh panitia MOS. Dan acara perkenalan tetap berlanjut, hingga tiba-tiba suasana hening. Aku tak tahu mengapa, yang jelas para siswa PS yang ada di sudut belakang sana serta-merta terdiam. Bersamaan dengan itu, seorang calon siswi baru naik untuk memperkenalkan dirinya, terlihat sebuah nama ’Quen’ bergantung dilehernya. Dan hal yang kembali membuat orang di sudut sana riuh adalah ketika calon siswi ini memperkenalkan dirinya dengan menyebutkan nomor ponselnya. Aku hanya tersenyum simpul dengan mata terpaku pada gadis itu.
Gadis yang berdialek jawa itu segera duduk setelah memperkenalkan dirinya. Dan saat itu juga aku tahu bahwa gadis itu berasal dari Jombang, Jawa Timur. 
Tak terasa, acara perkenalan calon siswa baru selesai, seorang kakak kelas maju ke depan dan membacakan tata tertib serta beberapa ketentuan MOS yang akan dilakukan tiga hari ke depan. Dengan penuh antusias, aku mencatat semua yang harus kami ingat. Aku tak menyangka peraturan itu begitu standar bagiku, tidak ada yang begitu istimewa menurutku.
Tepat ketika peraturan selesai dibacakan, tiba-tiba muncul beberapa siswa PS yang membawa kotak-kotak yang berukuran besar. Dan kembali kami harus menelan air ludah kami, ternyata kotak-kotak itu berisi barang-barang kami yang dianggap melanggar aturan, semuanya akan disita untuk sementara waktu mulai dari ponsel, barang-barang elektronik, parfum, senter, komik, sampai novel. 
Inilah nasib kami, tak ada yang dapat mengelak dan berkomentar akan peristiwa ini. Segera kami dipulangkan ke asrama untuk beristirahat karena besok adalah hari-hari yang tak akan pernah terlupakan dalam naskah kehidupan kami.
********************************

BAB III
Masa Orientasi Siswa

Hari pertama...

Aku mengenal diriku sendiri sebagai orang yang cepat grogi, yah.. termasuk ketika berada di dalam situasi saat aku harus menghadapi kenyataan ini. Awalnya, aku hanya menganggap MOS adalah hal yang biasa saja.. Bagaimanapun aku telah berpengalaman dalam kegiatan seperti ini semasa SMP.

Ketika tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, aku melanjutkan studiku di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Nah, ketika itu aku mengikuti MOS dengan tidak begitu semangat. Menurutku, kegiatan semacam itu cukup untuk membuatku bosan.. aku pun mengikutinya dengan setengah hati dan tanpa sedikit pun rasa antusias. Namun, entah mengapa aku dinobatkan sebagai peserta MOS terbaik kala itu. Aku jadi bingung sendiri.

Sekarang keadaanya berbeda, MOS yang aku kenal semasa SMP sangat jauh berbeda dengan ini. Pagi-pagi sekali kami sudah harus berkumpul di lapangan upacara untuk mengikuti upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa. Saat seperti ini, semua tingkah laku kami tentunya menjadi sorotan yang begitu penting bagi kakak kelas kami.

Pagi itu, saya adalah salah satu dari beberapa teman yang datang terlambat. Untung saja, saat itu upacara belum dimulai walaupun semua siswa telah berbaris rapi. Dan alhasil, saya pun tidak kebagian topi OSIS yang sebelumnya ternyata telah dibagikan. Untungnya, saya membawa topi sendiri dari kamar, topi yang telah ibu dibelikan oleh ibu saat sebelum masuk asrama.

Upacara berlangsung khitmad, Kepala Sekolah tampil sebagai pembina upacara kala itu. Bagiku, beliau adalah seseorang yang begitu kharismatik, yah, itulah kesan pertamaku terhadap beliau. Semua kalimat yang terlontar dari bibirnya begitu merasuk ke dalam jiwa kami, kami begitu antusias mendengarkan sambutan yang begitu hangat merasuki telinga, sum-sum tulang belulang kami, mengisi kegalauan hati yang begitu mendominasi perasaan kami.

Tidak terasa, upacara telah usai. Dan inilah klimaks dari MOS yang tentunya begitu menorehkan sejuta kenangan manis, pahit, sedih bercampur menjadi satu.

Sirene seksi keamanan langsung memenuhi suasana yang berlangsung begitu cepat, dalam hitungan detik kami sudah harus kembali ke asrama untuk memasang semua atribut yang telah ditugaskan kepada kami pada malam harinya..

Dalam waktu yang begitu singkat pula, kami sudah harus berada di lapangan basket dengan barisan yang sudah rapi.. Dengan segala kemampuan kami, kamu langsung berlari berkejaran dengan waktu yang begitu cepat. Kami harus mendahului para seksi keamanan yang selama tiga hari ke depan akan menghakimi semua kesalahan kami.

Aku begitu terkejut, aku tak bisa lagi berpikiran jernih, yang ada dalam pikiranku hanyalah berlari sekencang mungkin untuk tiba di lokasi sebelum semuanya berakhir dengan caci maki seksi keamanan.

Aku hampir saja terjatuh, selasar sekolah yang begitu penuh dengan tangga membuat kami harus menguras tenaga yang tidak sedikit. Asrama kami berada di daerah paling bawah sekolah, sedangkan lokasi yang harus kami capai adalah sebuah lapangan basket yang berada di daerah tengah sekolah.. Tidak begitu jauh, namun struktur geografis sekolah memaksa kami seakan mendaki, menaiki anak tangga yang begitu banyak.

Akhirnya aku pun tiba, namun sayangnya sirene telah berhenti berbunyi, itu artinya saya terlambat..
Aku harus menerima konsekuensi yang akan ditetapkan oleh seksi keamanan..

Di saat seperti ini, aku hanya bisa pasrah menerima hukuman push up.. namun, saat itu seksi keamanan tidak begitu lama menghukum kami, sebab kepala sekolah telah stand by di dalam ruang perpustakaan yang telah disulap menjadi sebuah semiaula... Hari pertama, kepala sekolah yang akan membawakan materi dalam kegiatan MOS itu..

Kami tentunya bisa sedikit bernapas lega..

Nah, kepala sekolah tampil sebagai pemateri yang begitu hangat, akrab dan sangat efektif untuk menetralkan suasana..
Kami diajarkan untuk memahami tentang Pendidikan Berkarakter yang sedang gencar-gencarnya digalakkan oleh lembaga pendidikan saat itu. Yah, selain materi itu, kami juga diberikan games-games ringan yang cukup untuk melatih kecerdasan kami.. Sangat mengesankan bagiku, selama ini kepala sekolah ku ketika berada di Madrasah tidak sekeren beliau..

Tak terasa materi pun usai, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA, yah, itu artinya waktu Snack untuk anak-anak PS.. Kami pun diberikan waktu sekitar 10 menit untuk menuju ke Ruang Saji dan mengantri untuk mengambil snack... Waktu 10 menit sangatlah tidak cukup untuk itu, namun tidak ada kebebasan untuk memberikan komplain terhadap itu semua, apalagi di saat seperti itu kawan pun bisa jadi lawan.. 

Sekali lagi, aku hanya bisa pasrah, berdiri di antrian yang begitu panjang... Bayangkan saja, Saat itu semua anak PS berkumpul di tempat yang sama untuk antri... Tentu sangat ramai. 

Sempat terbesit dibenakku untuk tidak mengambil snack, namun aku masih terngiang perkataan dari panitia..
"Kalian harus snack,, Jangan coba-coba untuk melanggar aturan yang ada", kata salah seorang dari seksi Acara ketika kami beranjak dari perpustakaan.

Aku pun mengurungkan niatku, apalagi saat itu perutku sedang tidak bisa diajak kompromi. Aku harus bertahan..

Waktu kami tersisah satu menit lagi, aku sudah berhasil menerima jatah snack ku... namun, sepertinya saat itu tidak ada lagi waktu untuk mencerna semuanya, aku hanya bisa menjejali mulutku dengan snack dan aku berusaha menelannya sekaligus dengan bantuan teh manis yang telah disediakan.

Sirene kembali berbunyi, aku langsung mengumpulkan gelas bekas teh ku... Tak ada lagi waktu untuk memperhatikan semuanya, melihat ada begitu banyak teman yang lain sedang mengumpulkan gelasnya,, tentu sangat padat dan akan menghabiskan begitu banyak waktu untuk bergabung dengan mereka. maka, aku putuskan untuk menyimpan gelasku begitu saja di meja..

Dan itu terhitung satu kesalahan berat.. Aku hanya bisa berharap saat itu tidak ada panitia yang melihat tingkahku, namun ternyata di saat seperti ini, siswa PS yang bukan panitia pun ikut mengawasi kami dan tentunya dengan begitu cepat mereka bisa saja memberitahukan kepada panitia tentang semua yang kami lakukan.. Aku begitu sial kala itu..

Semuanya terjadi begitu cepat.. Kami harus menerima hukuman sepanjang hari karena kesalahan kami...
********************

HARI KEDUA MOS
Di hari ini, pukul 04.30 dini hari kami sudah dibangunkan oleh kebisingan serine yang dinyalakan oleh panitia.  Lagi-lagi kami mengawali hari kami dengan segala makian yang merasuk ke tiap lorong-lorong indra pendengaran kami bersama dengan embun pagi di lingkungan yang berada di pegunungan itu.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan, aku segera mengambil kain sarung yang sudah aku siapkan sejak semalam di atas kursi belajarku. 

BAB IV
Masa Orientasi Siswa

5 komentar:

Dokter Awal mengatakan...

kapan yah,,, novel ini dilanjutin :)

Dokter Awal mengatakan...

bagi para pembaca,,, silahkan berkomentar di sini :)

Dokter Awal mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Tyas11 mengatakan...

keren sekali. lanjutkan awal! saya mendukungmu!!!

Dokter Awal mengatakan...

okok tyas,, doakan semoga segera kelar ini novel, soalnya stagnan ka hahahaha

Posting Komentar

Sebutin nama yee,, kalo ngga dicubit loh!
(Pastikan Komentar Anda Telah Terkirim)