MIDAR-MIDAR HIDUP
Inilah yang sudah lama aku nantikan. Menjadi juara sebuah lomba yang sangat aku idamkan, lomba cipta puisi. Puisi sudah menjadi hobi yang sangat aku gemari, menorah kata-kata puitis yang bisa membuat nara hatiku bermekaran bagaikan bunga cengkeh di kampungku.
Di sekolahku saja, aku terkenal dengan kemahiranku dalam merangkai kata-kata, menulis cerpen dan apa saja yang bisa membuat kosa kata di kepalaku dapat aku muntahkan seketika.
Sudah dua hari ini, aku sibuk dengan tumpukan cerpen di atas meja belajarku. Yah, cerpen teman-teman yang memintaku untuk mengganti judul-judul mereka. Pak Rahman, beliaulah guru bindo kami yang telah menolak judul-judul cerpen itu,
“Judulnya gampang ditebak”, kata beliau dengan raut wajah yang santai sambil meletakkan cerpen itu di bagian sudut kiri meja.
Itulah peristiwa yang telah membuat puluhan tugas cerpen kami tertolak. Aku saja yang terkenal dengan segala prestasi dalam bidang tulis-menulis hampir saja ditolaknya. Untunglah, aku segera mengganti judulku sebelum masuk ke dalam kelas.
Aku serasa kehabisan kosa kata di dalam otakku, sudah puluhan judul yang aku tentukan ke cerpen-cerpen mereka. Belum lagi kalau ada yang merasa belum pas dengan judulnya, pasti mereka akan meminta ganti. Luar biasa capeknya. Sesekali aku membuka Kamus Pelajar maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia itu untuk menambah kosa kata dalam kepalaku.
Hanya satu yang ada dalam kepalaku kini, aku harus mencari kata-kata asing yang tidak begitu akrab di telinga beliau. Pasti tak akan ditolak. Senyumku terus aku pasung dalam-dalam.
Sebenarnya aku bangga dengan kerja kerasku i ni. Betapa tidak, tadi saja beberapa temanku yang judulnya telah memikat hati Pak Rahman segera meraih tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Itu kepuasaan tersendiri bagiku.
Aku tak pernah memproklamirkan jiwa sastraku, tapi secara alami seantero Smudama pun mengenalku dengan jiwa itu.
Kembali aku membuka kamus kali ini aku tersendat dengan judul cerita sendu milik kawanku Fahrul. Luar biasa beragam cerita yang aku baca, akhirnya aku pun memberinya judul –Petak-Petak Check Mate-. Batinku terus bergelayut, berdoa agar judul-judul ini memikat hati Pak Rahman.
Jarum jam dinding baru yang tergantung di atas jendela kamarku sudah menunjukkan pukul 15.45. Aku pun bersegera menuju ke kamar mandi yang berada di sudut asrama. Ya, aku bersekolah di sebuah sekolah menengah atas berasrama. Sebuah sekolah berlabel sekolah menengah atas andalan di Sulawesi Selatan.
Di kamar mandi aku berpapasan dengan Muis, adik kelas tingkat pertama. Dengan berjalan bungkuk, dia berjalan di depanku dengan senyum di bibirnya. Itulah budaya di sekolah kami. Budaya tabek yang melambangkan keharmonisan hidup, hormat-menghormati antara kakak beradik.
Setelah berwudhu, aku menyegerakan langkahku menuju mushallah –Jabal Nur- yang ada diperbatasan asrama antara siswa dan siswi.
Anak-anak TPA terus saja berkeliaran dalam masjid. Aku pun segera menempelakan telunjuk di atas bibir untuk menyuruh mereka diam. Namun, sepertinya itu sia-sia. Hingga akhirnya aku putuskan saja untuk ikut berjamaah, nanti merek pasti akan diam dengan sendirinya.
****************
untuk mendapatkan kisah lengkapnya,,,, hub. AWAL SAFAR.M
0 komentar:
Posting Komentar
Sebutin nama yee,, kalo ngga dicubit loh!
(Pastikan Komentar Anda Telah Terkirim)