NASKAH HIDUPKU
Keberhasilan
dalam belajar tidaklah dinilai dengan seberapa besar hasil yang kita peroleh,
tetapi seberapa besar hikmah yang kita peroleh dalam proses belajar itu. Aku
terlahir di lingkungan keluarga yang cukup sederhana sebagai seorang anak dari
seorang Ibu Rumah Tangga dan seorang Ayah yang berprofesi sebagai guru. Dan itu
merupakan anugerah terbesarku dalam hidup, ini adalah takdir terbaik yang
menjadi modal besarku dalam meniti naskah kehidupan yang khusus diatur untuk
diriku.
Sejak
kecil memang aku sudah gemar membaca, bacaan apapun itu. Ayah yang kebetulan
saat itu sedang menjabat sebagai Kepala Sekolah di sebuah sekolah dasar negeri
selalu memenuhi meja ku dengan bacaan berupa majalah, buku cerita, koran,
maupun buku pelajaran. Kegemaranku dalam membaca ternyata membawa banyak dampak
positif dalam kehidupanku. Beberapa kali aku mengikuti kompetisi-kompetisi yang
menurutku akan sulit aku lalui jika aku tidak memiliki wawasan yang cukup.
Berawal dari sebuah kompetisi menggambar saat aku duduk di sekolah dasar.
Ketika semua peserta hanya menggambarkan pegunungan, aku justru bisa
menggambarkan sebuah danau yang curam padahal melihat sebuah danau pun aku
belum pernah. Alhasil, aku menjadi juara pertama dan diundang untuk menjadi
perwakilan kecamatan di tingkat kabupaten. Ini mungkin hanya salah satu dari
banyak kompetisi yang aku lalui hanya dengan mengandalkan wawasanku dalam
membaca.
Sewaktu
duduk di bangku SMP, aku sempat mengalami masalah dalam belajar. Hal ini
diawali oleh perbedaan prinsip yang aku pegang dengan prinsip kedua orang
tuaku. Setamat dari sekolah dasar aku sangat ingin melanjutkan studi ku di
sebuah pesantren yang cukup terkenal di ibukota provinsiku. Namun, ternyata
orang tuaku berkata lain. Aku yang berprinsip bahwa pendidikan yang terbaik ada
di kota ditentang oleh orang tuaku. Menurut beliau, di mana pun seseorang
menuntut ilmu, hasilnya akan sama saja.
Sampai
pada akhirnya di bangku SMP prestasiku tidak sebaik ketika masih duduk di
bangku sekolah dasar walaupun aku masih tetap giat menyumbangkan beberapa trofi
untuk sekolahku itu. Di awal studiku, aku masih sempat meraih peringkat
pertama, namun ketika berada di semester kedua aku akhirnya harus rela
menduduki peringkat pertama bersama dengan seorang temanku. Nilai ku tidak
begitu baik saat itu sampai pada akhirnya aku berontak untuk pindah sekolah.
Aku berontak karena di sekolahku tidak ada buku yang memadai. Saat itu sudah
tahun 2005, sedangkan buku ajar yang kami gunakan masih kurikulum 1994.
Ayah
yang selama ini selalu mendukungku sempat dibuat geram oleh kemauanku itu.
Namun, pada akhirnya Ayah aku pun pasrah dan mengizinkanku untuk pindah ke
sebuah sekolah menengah pertama yang ada di ibukota provinsi. Saat itu, aku
merasa sangat berdosa karena telah membuat orang tuaku kerepotan untuk
mengurusi kepindahanku. Belum lagi saat itu beberapa sekolah sempat menolakku
dikarenakan asal sekolahku yang berasal dari sebuah sekolah agama swasta. Aku
dianggap tidak bisa bersaing dengan siswa lainnya.
Dengan
tekad yang bulat, aku melalui studiku di sekolahku yang baru dengan hasil yang
memuaskan. Aku sempat dimasukkan dalam sebuah kelas yang menurutku tidak layak
untuk dikatakan kelas. Di dalam kelas itu ada 50 orang siswa dan begitu padat.
Saat itu aku hanya bisa bertekad agar bisa masuk di kelas unggulan yang dikenal
hanya diisi oleh orang-orang yang prestasinya luar biasa padahal saat itu kelasku
termasuk kelas yang sangat tidak diperhitungkan. Guru-guru aku saja jarang ada
yang masuk ke kelas karena alasan siswa-siswi di kelasku terkenal nakal. Aku
pun berusaha untuk belajar mandiri tanpa harus memikirkan kehadiran guruku di
kelas.
Sampai
pada akhirnya, aku berhasil menduduki peringkat pertama di kelasku dan setelah
diurut berdasarkan peringkat seluruh siswa yang saat itu berjumlah kurang lebih
320 orang, aku pun berhasil masuk di kelas unggulan itu. Beberapa siswa yang
lain bahkan terheran-heran karena tidak percaya bahwa seorang siswa yang
berasal dari kelas terburuk di sekolah itu bisa bergabung di kelas unggulan.
Saat itu aku hanya bisa bersyukur dan yakin bahwa itu semua tidak akan terjadi
jika belajarku biasa-biasa saja. Tidak hanya itu, aku pun pada akhirnya
berhasil lulus dengan menyandang peringkat 5 terbaik di SMP ku dan akhirnya
diterima di sebuah sekolah andalan sulawesi selatan dengan perjuangan yang
tidak wajar menurutku.
Di
saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA, aku membentuk sebuah kelompok belajar
dengan keempat temanku yang lain. Sebuah kelompok belajar yang mempunyai visi
yang sama yaitu harus masuk ke perguruan tinggi impian kami masing-masing. Saat
itulah perjuanganku dimulai. Kami belajar secara intensif dengan mengorbankan
kesenangan kami bersama dengan teman-teman yang lain. Aku begitu menikmati
perjuangan kami itu dengan komitmen bahwa aku harus lulus dengan nilai yang
memuaskan dan bisa meraih kursi impian di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Sebuah fakultas yang aku yakini sejak masuk di sekolah berasrama ini sebagai
salah satu jalan untuk meraih mimpiku. Aku bermimpi menjadi duta besar negeri
ini di salah satu negara sahabat walaupun orang tuaku berkata lain. Orang tuaku
tidak ingin jika anaknya terjun di dunia politik.
Perjuangan
ku bersama teman-teman yang lain ternyata tidak sia-sia, aku pun berhasil lulus
dengan nilai yang memuaskan. Keberhasilanku itu ternyata tidak dibarengi dengan
keberhasilan untuk lanjut di universitas idamanku. Di tahun 2011, tidak kurang
dari sepuluh kali aku mengikuti tes di berbagai institusi pendidikan dan tidak
ada satupun yang berhasil aku lulusi. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menunda
kuliahku. Tidak gampang untuk mengambil keputusan ini, aku pun sangat sadar
bahwa keluargaku sedang berharap lebih terhadap diriku.
Selama
setahun aku mengisi hidupku dengan mengikuti bimbingan di sebuah lembaga
bimbingan belajar. Aku memulai semua belajarku dari nol dan akhirnya aku pun
berhasil untuk menalukkan soal demi soal dari materi yang diajarkan. Itu aku
lakukan selama kurang lebih setahun tentunya. Hampir tiap hari aku melintas di
depan kampus idamanku, yah kampus yang aku idamkan setelah mempertimbangkan
segala hal termasuk masalah finansial keluargaku. Setiap aku melihat kampus
idamanku itu, hatiku selalu berdoa agar Tuhan membuat kampus ini juga
mengidam-idamkan diriku. Dukungan keluarga pun selalu aku rasakan sebagai
suplemen ketika semangatku sedang turun atau bahkan tidak ada.
Kini,
aku baru saja menyelesaikan semester 3 di prodi yang orang tuaku idam-idamkan,
salah satu prodi pendidikan dokter terbaik di Indonesia. Aku berharap semoga
kelak akan menjadi dokter yang bisa bermanfaat banyak bagi orang lain. Impianku
untuk menjadi duta besar di negara sahabat kini aku ubah. Aku ingin menjadi
dokter asal Indonesia terbaik di negara lain.
0 komentar:
Posting Komentar
Sebutin nama yee,, kalo ngga dicubit loh!
(Pastikan Komentar Anda Telah Terkirim)